10.14.2008

Pelajaran dari Peraih Nobel Perdamaian 2008

Oleh I Basis Susilo Nobel Perdamaian 2008 dipersembahkan kepada Martti Ahtisaari, mediator perdamaian terkemuka saat ini. Salah satu peran yang membuat dia mendapat hadiah itu adalah memediasi proses perdamaian pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005. Karena itu, sepanjang Jumat (10/10/08), to Perjanjian Helsinki ditayangkan CNN, BBC, maupun stasiun-stasiun TV lain. Diplomat karir itu juga pernah menjadi presiden Finlandia (1994-2000) serta mendirikan Crisis Management Initiative (CMI) sejak 2000. Semangat dan obsesinya untuk menjadi pelayan perdamaian bagi upaya-upaya penyelesaian konflik telah diakui dunia dan mendapatkan berbagai penghargaan, termasuk yang terakhir Hadiah Nobel Perdamaian itu. Mengapa Ahtisaari mempunyai komitmen serta semangat begitu kuat dalam menerjunkan hidup dan karir untuk mengabdi dalam upaya-upaya perdamaian? Keyakinan dan keterampilan apa yang membuat dia bisa menjadi orang seperti itu? Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari Ahtisaari? Trauma Masa Kecil Saat menerima hadiah dari UNESCO (2/10/08), Ahtisaari menceritakan bahwa semangat pengabdiannya untuk perdamaian didasari pengalaman pribadi pada masa kanak-kanaknya. Dia lahir pada 1937 di kota kecil Viipuri. Waktu kecil, pasukan Soviet menyerbu kotanya, sehingga bersama 400.000 warga yang lain dia menjadi orang terasing di negeri sendiri. Waktu itu, Ahtisaari dan ibunya harus mengungsi dari rumah ke rumah selama berbulan-bulan. Pengalaman pada ''masa peka'' tersebut mendorong dirinya berobsesi untuk selalu mendambakan perdamaian. Dia juga yakin pengalaman masa kecil itu dialami jutaan orang lain di tempat dan waktu yang berbeda hingga sekarang ini. Karena itu, dia ingin selalu membantu orang-orang yang terlunta-lunta akibat perang seperti itu. Setelah perang selesai, Ahtisaari mempersiapkan diri untuk mengembangkan nilai serta keterampilan berdiplomasi. Dia beruntung karena Finlandia mempunyai sistem pendidikan terbaik di dunia, didasari demokratis dan sadar gender, sehingga bisa mengembangkan diri menjadi diplomat yang menangani konflik-konflik di berbagai tempat. Plus-Minus PBB Semula Ahtisaari begitu yakin bahwa badan pembuat perdamaian hanya PBB. Tidak ada alternatif lain, katanya. Keyakinan itu didasari kenyataan bahwa PBB bisa mempunyai kekuatan gabungan pengaruh (influence), persuasi (persuation), sekaligus tekanan (pressure). Selain itu, PBB punya kemampuan mendukung dan melegitimasi aktor-aktor serta lembaga-lembaga regional. Namun, pengalamannya di lapangan menyadarkan Ahtisaari bahwa ada keterbasan PBB. Pertama, ada kecenderungan anggota-anggota PBB untuk mau mendukung tugas perdamaian, tapi tanpa mau menyediakan sumber serta dukungan politik yang memadai. Kedua, prinsip kedaulatan nasional mendorong negara-negara anggota PBB cenderung tidak mau menginternasionalisasi sengketa atau konflik internalnya. Dan mengundang atau melibatkan PBB justru sering menempatkan tuan rumah maupun PBB kikuk serta salah tingkah sendiri. Atas dasar itu, Ahtisaari kemudian menyatakan, dalam mengatasi dan mencegah konflik, pendekatan negara-sentris (state-centric) bukanlah satu-satunya pilihan untuk semua kasus konflik. Dalam hal ini, aktor-aktor dan lembaga-lembaga bukan pemerintah bisa menjalankan peran penting sebagai fasilitator atau mediator bagi suatu proses perdamaian. Namun, dia juga tidak yakin kalau ada satu jawaban sama untuk semua kasus konflik. Bagaimana mediasi dilakukan, apa metodologinya, apa tekniknya? Tidak ada jawaban tunggal dan tuntas. Mediasi lebih merupakan ''seni'' daripada praktik yang sudah mapan. Menurut dia, every conflict is a sui generis-a special case. Konflik Bisa Diatasi Ahtisaari sepenuh hati mengabdikan hidupnya menjadi pelayan perdamaian karena yakin setiap konflik pasti bisa diatasi. Berulang-ulang dia menegaskan, ''Kita tidak boleh menerima pendapat bahwa beberapa konflik memang tidak bisa diselesaikan karena sulitnya akar permasalahan.'' Dia sangat menyayangkan begitu banyaknya konflik yang belum bisa diselesaikan. Misalnya, konflik di Timur Tengah, Siprus, Sri Lanka, Kashmir, Myanmar, Somalia, dan Darfur. Dia yakin komunitas internasional pasti bisa menyelesaikan setiap konflik. Ahtisaari juga menyatakan bahwa perdamaian tidak bisa dicapai oleh satu orang saja. Komunitas internasional mulai menyadarai bahwa penyelesaian konflik mensyaratkan pendekatan multidimensi. Selain itu, penyelesaian masalah memerlukan kerja sama dan keterlibatan berbagai tingkat, baik individu, organisasi, pemerintah, maupun lembaga-lembaga regional dan internasional. Ahtisaari mencatat, kesiapan mental dan kondisi untuk damai menjadi syarat penting bagi setiap upaya perdamaian. Dia mengungkapkan, pengalamannya bertahun-tahun di Afrika mengajarkan bahwa orang-orang Afrika mempunyai kemampuan untuk mengampuni. Selain itu, proses perdamaian hanya bisa berlangsung saat ada keinginan murni untuk mencegah kekerasan di antara pihak-pihak yang bersengketa. Negosiasi politik tidak bisa mengatasi konflik. Proses perdamaian menuntut koordinasi penegak perdamaian lokal, nasional, bahkan internasional. I Basis Susilo, dosen hubungan internasional dan dekan FISIP Unair

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda